HinduChannel.tv – Di tengah keberagaman tradisi Hari Kuningan, ada satu keyakinan yang masih kuat dipegang masyarakat Bali hingga kini: anjuran untuk tidak bepergian jauh. Banyak keluarga menasihatkan agar pada hari suci ini tidak melakukan perjalanan lintas kota, aktivitas wisata, ataupun kegiatan yang membuat seseorang meninggalkan rumah dan pura keluarga. Meski sering disebut sebagai “mitos”, tradisi ini sesungguhnya berakar dari pemahaman spiritual dan nilai budaya yang sangat dalam.
Kuningan berlangsung sepuluh hari setelah Galungan. Dalam kepercayaan Hindu Bali, saat itu para Dewa dan Pitara (leluhur) yang sebelumnya “turun” ke dunia selama masa Galungan sedang kembali menuju alam suci mereka. Pagi hingga siang pada Hari Kuningan dianggap sebagai waktu paling sakral, karena energi suci tersebut diyakini masih hadir di setiap rumah dan sanggah keluarga. Karena itulah banyak keluarga memilih tetap berada di rumah, menjaga suasana harmoni dan spiritual selama momen sakral tersebut.
Tradisi ini bukan muncul tanpa dasar. Ada sejumlah nilai filosofis dan etika sosial yang membentuknya dan membuatnya tetap relevan hingga saat ini.
- Bentuk Hormat kepada Leluhur
Saat para leluhur diyakini “pulang” ke rumah keluarga, umat dianggap sepatutnya hadir untuk menyambut dengan banten, sembahyang, dan suasana yang khidmat. Pergi jauh di hari ini dipahami sebagai ketidakhadiran simbolis, seolah kehilangan kesempatan untuk menghormati hubungan suci tersebut.
- Membantu Umat Fokus pada Sembahyang Pagi
Ritual Kuningan memiliki waktu baku: semua persembahyangan harus selesai sebelum tengah hari. Dengan tidak melakukan perjalanan jauh, umat dapat memusatkan perhatian pada rangkaian upacara, mempersiapkan banten, dan sembahyang di rumah serta pura keluarga tanpa tergesa-gesa.
- Menjaga Energi Rumah Tetap Tenang dan Harmonis
Rumah dalam tradisi Bali adalah griya, ruang yang tidak hanya fisik, tetapi juga spiritual. Hari Kuningan dipercaya membawa energi terang dan berkah bagi keluarga. Dengan tetap berada di rumah, umat dapat merasakan, menjaga, dan memelihara vibrasi suci tersebut.
- Simbol “Kembali ke Rumah” Setelah Galungan
Kuningan menjadi penutup rangkaian Galungan, masa kemenangan Dharma. Secara filosofis, hari ini mengingatkan manusia untuk kembali ke pusat kehidupan: keluarga, rumah, dan nilai-nilai rohani. Tidak bepergian jauh menjadi simbol bahwa manusia pun harus “pulang”, baik secara fisik maupun batin.
Kini, mobilitas masyarakat semakin tinggi. Tidak sedikit yang tetap harus bekerja, berada di luar kota, atau memiliki keperluan mendesak. Karena itu, banyak keluarga Bali kini memandang tradisi ini bukan sebagai larangan mutlak, melainkan anjuran etis untuk memprioritaskan:
- kebersamaan keluarga,
- ketenangan rumah,
- dan penghormatan kepada leluhur.
Nilai yang dijunjung jauh lebih penting daripada bentuk larangannya.
Mitos atau anjuran untuk tidak bepergian jauh pada Hari Kuningan adalah bagian dari kearifan lokal Bali yang memadukan spiritualitas, keharmonisan keluarga, dan tata kehidupan adat. Meski zaman berubah, makna di balik tradisi ini tetap memberi pesan kuat: ada saatnya manusia berhenti sejenak, kembali ke rumah, dan mensyukuri hidup.
Dengan mempertahankan tradisi ini, baik sebagai praktik keyakinan maupun warisan budaya masyarakat Bali menjaga agar kesakralan Hari Kuningan tetap hidup dan diteruskan sepanjang generasi.



